Peraturan Bank Indonesia tentang Internet banking


Banyaknya pembobolan uang pada suatu ATM atau Bank serta masalah-masalah yang timbul pada Bank, terutama karena kurangnya keamanan yang ada pada Bank tersebut, baik dari sisi Hardware, Software, dan juga tak lain adalah orang (karyawan) yang mempunyai wewenang dalam kegiatan suatu bank tersebut. Sehubungan dengan semakin berkembangnya pelayanan jasa Bank melalui internet (internet banking) dan sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4292) serta Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/164/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Penggunaan Teknologi Sistem Informasi oleh Bank, maka dipandang perlu untuk mengatur pelaksanaan penerapan manajemen risiko pada aktivitas internet banking dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut:

I.   UMUM
1)     Internet Banking adalah salah satu pelayanan jasa Bank yang memungkinkan nasabah untuk memperoleh informasi, melakukan komunikasi dan melakukan transaksi perbankan melalui jaringan internet, dan bukan merupakan Bank yang hanya menyelenggarakan layanan perbankan melalui internet, sehingga pendirian dan kegiatan Internet Only Bank tidak diperkenankan.
2)     Internet Banking dapat berupa Informational Internet Banking, Communicative Internet Banking dan Transactional Internet Banking. Informational Internet Banking adalah pelayanan jasa Bank kepada nasabah dalam bentuk informasi melalui jaringan internet dan tidak melakukan eksekusi transaksi (execution of transaction). Communicative Internet Banking adalah pelayanan jasa Bank kepada nasabah dalam bentuk komunikasi atau melakukan interaksi dengan Bank penyedia layanan internet banking secara terbatas dan tidak melakukan eksekusi transaksi (execution of transaction). Transactional Internet Banking adalah pelayanan jasa Bank kepada nasabah untuk melakukan interaksi dengan Bank penyedia layanan internet banking dan melakukan eksekusi transaksi (execution of transaction).
3)     Mengingat aktivitas internet banking yang mengandung risiko tinggi adalah transactional internet banking, maka kewajiban penerapan manajemen risiko sebagaimana diatur dalam Surat Edaran ini hanya diberlakukan bagi penyelenggaraan transactional internet banking.
4)     Ketentuan dan peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu antara lain Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan ketentuan Bank Indonesia tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer) juga berlaku dalam hubungannya dengan penyelenggaraan internet banking.

Format laporan mengacu kepada Surat Edaran BankIndonesia Nomor 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003, yang memuat :
  1. Uraian singkat atau penjelasan dan bentuk flow chart dari Prosedur Pelaksanaan (standar operating procedures/SOP) internet banking;
  2. Bagan Organisasi dan kewenangan satuan kerja tertentu yang melaksanakan internet banking;
  3. Hasil analisis dan identifikasi satuan kerja manajemen risiko pada Bank terhadap risiko yang melekat pada internet banking;
  4. Hasil uji coba metode pengukuran dan pemantauan risiko yang melekat pada internet banking yang dilaksanakan oleh satuan kerja manajemen risiko pada Bank;
  5. Uraian singkat mengenai Sistem Informasi Akuntansi untuk transaksi yang dilakukan melalui internet banking, termasuk penjelasan singkat mengenai keterkaitan sistem informasi akuntansi tersebut dengan sistem informasi akuntansi Bank secara menyeluruh; dan
  6. Hasil analisis aspek hukum untuk internet banking.

II.         PEDOMAN MANAJEMEN RISIKO
1.  Bank yang menyelenggarakan internet banking wajib menerapkan manajemen risiko pada aktivitas internet banking secara efektif, yang meliputi :
a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
b. sistem pengamanan (security control);
c. manajemen risiko, khususnya risiko hukum dan risiko reputasi.
2.  Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib dituangkan dalam suatu kebijakan, prosedur dan pedoman tertulis, dengan mengacu pada Pedoman Penerapan Manajemen Risiko pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet (Internet Banking), yang merupakan lampiran dan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini. Pedoman penerapan manajemen risiko internet banking tersebut merupakan bagian dari Pedoman Penerapan Manajemen Risiko Bank secara keseluruhan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
3. Bank yang telah melaksanakan aktivitas internet banking dan telah memiliki kebijakan, prosedur dan atau pedoman tertulis penerapan manajemen risiko pada aktivitas internet banking wajib menyesuaikan dan menyempurnakan dengan berpedoman pada Lampiran Surat Edaran ini.
4. Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, penyempurnaan pedoman penerapan manajemen risiko pada aktivitas internet banking sebagaimana dimaksud pada angka 3 wajib dilakukan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2004.

III.   HAL LAIN
1.  Guna meningkatkan efektivitas penerapan manajemen risiko, Bank wajib melakukan evaluasi dan audit secara berkala terhadap aktivitas internet banking dengan menggunakan auditor internal (Satuan Kerja Audit Intern/SKAI) atau auditor eksternal.
2. Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap efektivitas dan kecukupan penerapan manajemen risiko khususnya yang berkaitan dengan aktivitas internet banking pada Bank.

IV. SANKSI
1. Pelanggaran atas kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka III.1 dan angka III.4 dikenakan sanksi administrative sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Surat Keputusan Direksi No. 27/164/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Penggunaan Teknologi Sistem Informasi oleh Bank.
2. Pelanggaran atas kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka III.2 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.

Oleh karena itu Bank harus lebih memperhatikan lagi segi keamanan dari fasilitas atm, Bank indonesia baru-baru ini mengeluarkan kebijakan untuk mengganti card yang lebih aman untuk segi keamanan dan bank-bank yang ada diindonesia juga mengeluarkan anjuran-ajuran dari segi keamanan pada saat melakukan transaksi di atm.
Peraturan Bank Indonesia tentang internet banking untuk melindungi salah satu transaksi di dunia perbankan dalam menggunakan peralatan IT, yaitu dengan mengeluarkan peraturan-peraturan tentang bertransaksi yang aman, dan selalu mengganti pin setiap sebulan sekali, Bank Indonesia juga telah memperketat segi keamanan untuk bank-bank lain sehingga pengguna dapat merasa aman dalam bertrasaksi

Sumber :

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

UU no 19 tahun 2002 (Hak Cipta)


I.       PENGERTIAN HAK CIPTA
Hak cipta (lambang internasional: ©, Unicode: U+00A9) adalah hak eksklusif  Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 butir 1).

II.    KETENTUAN UMUM
Pasal 1 , ayat 8 :
Program Komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus.

III.  LINGKUP HAK CIPTA
Pasal 2, ayat 2 :
Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Pasal 12, ayat 1 :
Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a)      buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; 
Pasal 15 :
Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a.      Penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b.      Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
c.       Pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.

IV. PERLINDUNGAN HAK CIPTA
Perlindungan suatu ciptaan timbul secara otomatis sejak ciptaan itu diwujudkan dalam bentuk yang nyata. Pendaftaran ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban untuk mendapatkan hak cipta. Namun demikian, pencipta maupun pemegang hak cipta yang mendaftarkan ciptaannya akan mendapat surat pendaftaran ciptaan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan tersebut.
Ciptaan yang dilindungi ialah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang meliputi karya:
1.      Buku, program komputer, pamflet, perwajahan ( lay out ) karya tulis yang
diterbitkan,dan semua hasil karya tulis lain; 
2.      Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
3.      Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; 
4.      Lagu atau musik dengan atau tanpa teks; 
5.      Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; 
6.      Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir,
seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan: 
7.      Arsitektur; 
8.      Peta; 
9.      Seni batik;
10.  Fotografi; 
11.  Sinematografi; 
12.  Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

V.     PEMBATASAN HAK CIPTA

·      Pasal 14
Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a.    Pengumuman dan/atau Perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;
b.   Pengumuman dan/atau Perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama Pemerintah, kecuali apabila Hak Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang undangan maupun dengan pernyataan pada Ciptaan itu sendiri atau ketika Ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau
c.    Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

·      Pasal 15
Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a.    penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b.   pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan
pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
c.    pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
(i) ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
(ii) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
d.   Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
e.    Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
f.     perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
g.   pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri. 

·      Pasal 16
1)   Untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan
pengembangan, terhadap Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra, Menteri setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta dapat:
a.         mewajibkan Pemegang Hak Cipta untuk melaksanakan sendiri penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan;
b.        mewajibkan Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan dalam hal Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan tidak melaksanakan sendiri atau melaksanakan sendiri kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c.         menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut dalam hal Pemegang Hak Cipta tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
2)   Kewajiban untuk menerjemahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya Ciptaan di bidang ilmu pengetahuan dan sastra selama karya tersebut belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
3)   Kewajiban untuk memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah lewat jangka waktu:
a.         3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
b.        5 (lima) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang ilmu sosial dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
c.         7 (tujuh) tahun sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia.
4)   Penerjemahan atau Perbanyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk pemakaian di dalam wilayah Negara Republik Indonesia dan tidak untuk diekspor ke wilayah Negara lain.
5)   Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c disertai pemberian imbalan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
6)   Ketentuan tentang tata cara pengajuan Permohonan untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

VI.  PROSEDUR PENDAFTARAN HAKI
Hasil kemampuan intelektual dan teknologi disebut Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HaKI), yang merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (IPR). Digunakannya istilah HaKI bagi terjemahan IPR karena merupakan istilah resmi dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002.  


Gambar 1 alur proses pendaftaran HAKI

Prosedur Permohonan Pendaftaran Hak Cipta (Menurut Undang-Undang Hak Cipta No.12 Tahun 1997) Permohonan Pendaftaran
Hak Cipta, antara lain :
·        Pemeriksaan Administratif
·        Evaluasi
·        Pemberian Surat
·        Pendaftaran Ciptaan
·        Mengisi Formulir Pendaftaran;
·        Melampirkan Contoh Ciptaan & Uraian Atas Ciptaan Yang Dimohonkan;
·        Melampirkan Bukti Kewarganegaraan Pencipta Atau Pemegang Hak Cipta;
·        Melampirkan Bukti Badan Hukum Bila Pemohon Adalah Badan Hukum;
·        Melampirkan Surat Kuasa Bila Melalui Kuasa;
·        Membayar Biaya Permohonan
·        Lengkap
·        Didaftarkan
·        Dilengkapi
·        Ditolak
·        Ya
·        Tidak Lengkap
·        Maks.3 Bulan
·        Tidak

VII.        MASA BERLAKU HAK CIPTA

Pasal 30
(1) Hak Cipta atas Ciptaan:
a. Program Komputer;
b. sinematografi;
c. fotografi;
d. database; dan
e. karya hasil pengalihwujudan,
berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.


Sumber :

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

UU No.36 Tentang Telekomunikasi


A.   ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.

  1. PENYELENGGARAAN
enyelenggaraan telekomunikasi harus dapat melindungi kepentingan dan keamanan negara, mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global.  Penyelenggaraan telekomunikasi juga harus dilakukan secara professional dan dapat dipertanggungjawabkan serta memberi kesempatan untuk peran serta masyarakat.
Sesuai dengan ketentuan Konvensi telekomunikasi Internasional setiap negara harus memiliki Administrasi Telekomunikasi yang mewakili  Negara yaitu pemerintah dari negara yang bersangkutan. Di Indonesia yang diberi kewenangan sebagai Administrasi Telekomunikasi.  Tugas dari Administrasi Telekomunikasi (AT) adalah melaksanakan hak dan kewajiban Konvensi Telekomunikasi Internasional dan peraturan lainnya antara lain memberi izin penyelenggaraan telekomunikasi.  AT juga melaksanakan hak dan kewajiban peraturan internasional lainnya seperti peraturan yang ditetapkan Intelsat (International Telecommunication Satelite Organization) dan Immarsat (Internasional Maritime Satelite Organization) serta perjanjian internasional di bidang telekomunikasi lainnya yang telah diratifikasi Indonesia.
Penyelenggaraan telekomunikasi dapat dibagi menjadi 3 bentuk berdasarkan pasal 7 ayat (1), yaitu :
  1. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi
  2. penyelenggaraan jasa telekomunikasi
  3. penyelenggaraan telekomunikasi khusus
pasal 7 ayat (2) : dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
  1. melindungi kepentingan dan keamanan Negara
  2. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global
  3. dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
  4. peran serta masyarakat.
Pasal 8
(1) Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku, yaitu:
a.    Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b.    Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c.     koperasi
(2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam   Pasal 7 ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh :
a.      perseorangan
b.     instansi pemerintah
c.      badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
(3)       Ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1)          Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
(2)         Penyelengara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
(3)         Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk :
a.      keperluan sendiri
b.     keperluan pertahanan keamanan negara;
c.      keperluan penyiaran
(4)         Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a terdiri dari penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan:
a.      perseorangan
b.     instansi pemerintah
c.dinas khusus
d.      badan hokum
(5)         Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  1. Hak, kewajiban serta Larangan dalam Penyelenggara Telekomunikasi
1. Hak Penyelenggara dan pengguna telekomunikasi
Untuk kemudahanan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi diberi kemudahan untuk memanfaatkan dan atau melintasi batas yang dikuasai pemerintah. Pemanfaatan dan pelintasan tersebut dapat berupa pelintasan bangunan & tanah negara, suangai, danau, laut (permukaan dan dasar). Dari sisi pengguna telekomunikasi, haruslah memperoleh hak yang sama untuk dapat menggunakan atau memperoleh fasilitas yang sama dalam penggunaan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
2.  Kewajiban Penyelenggara Telekomunikasi
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi  dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib :
-         menyediakan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada semua pengguna
-         meningkatkan efisuensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi
-         memenuhi standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana
-         mencatat / merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna (untuk penyelenggara jasa telekomunikasi)
-         menjamin kebebasan penggunaanya untuk memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi (untuk penyelenggara jaringan telekomunikasi)
-         memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, penyampaian informasi penting yang menyangkut keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, marabahaya dan atau wabah penyakit.
-         Membayar biaya oenyelenggaraab telekomunikasi dengan prosentase pendapatan.
3.  Larangan dalam rangka penyelenggaraan telekomunikasi
Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.  Selain itu setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak / tidak sah / memanipulasi akses ke 3 bentuk penyelenggaraan telekomunikasi (jaringan, jasa & khusus)
  1. Biaya hak penyelenggaraan dan tariff
a.      Biaya hak penyelenggaraan
Semua penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosentase pendapatan dan menjadi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang disetor ke Kas Negara.. 
b.     Tarif
Susunan tarif penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi diatur pleh PP yang meliputi struktur dan jenis tariff.  Struktur tariff terdiri dari : (1) biaya pasang baru (aktivasi) ; (2) biaya berlangganan bulanan; (3) biaya jasa penggunaan ; (4) biaya jasa tambahan (feature). 
Formula atau pola perhitungan besaran tariff yang ditetapkan oleh pemerintah terdiri dari formula tariff awal dan formula tariff perubahan. Untuk menetapkan formula tariff awal harus memperhatikan komponen biaya sedangkan untuk menetapkan formula besaran tariff perubahan diperhatikan juga antara lain factor inflasi, kemampuan masyarakat, dan kesinambungan pembangunan telekomunikasi.

  1. PENYIDIKAN
Pasal 44
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
b.  melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
e.  melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f.  menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
g.  menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan
i.   mengadakan penghentian penyidikan.
(3) Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.

  1. SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.

  1. KETENTUAN PIDANA
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
1)      Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
2)    Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.

elib.unikom.ac.id/download.php?id=104817

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS